Bali Headline – Banyak sumber mengatakan, bahwa manusia yang meninggal karena salah dan ulah pati maka rohnya akan tersesat. Maka dari itu, dalam Hindu ada beberapa upacara yang dilakukan agar roh yang tersesat atau kesasar ini kembali ke jalan yang seharusnya. Upacara tersebut salah satunya Upacara Ngelinggihang. Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda, menjelaskan bahwa roh manusia yang meninggal sangat mungkin tersesat.
“Upacara-upacara keagamaan, seperti ngaben, nyekah hingga ngelinggihang tentu saja membantu proses roh menjadi lebih cepat menyatu dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Namun semua itu kembali ke karmanya masing-masing,” jelas beliau dikutip dari Tribun-bali,com.
Semua umat Hindu, memiliki satu cita-cita mulia saat meninggal nanti. Yaitu disebut ‘Mokshartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma’. Atau mencapai moksa, yaitu menyatunya antara atman dengan brahman (Tuhan). Dalam masyarakat Hindu di Bali khususnya harapan mencapai moksa ini diwujudkan dengan upacara agama. Serta membangun palinggih rong tiga (telu), sebagai simbol harapan mencapai moksa.
Beliau juga mengatakan sarana dan prasarana upacara ngelinggihan, dan upacara nilapati adalah sebagai berikut. Sarana upakara diperlukan untuk di kamulan adalah banten pangresikan, diantaranya banten byokawon, banten tatebasan dumenggala, banten tatebasan prayascita, banten pangulapan, Banten lis amu-amuan, ririan.
Kemudian ada pula banten ring sanggah Surya, yakni daksina saha suci, banten pejati asoroh, banten rayunan atau hyunan putih kuning asoroh, canang pasucian, kalungah nyuh gading kinasturi. Lalu ada banten caru tapakan, yakni banten caru ayam putih mulus asoroh, dan banten glar sangah asoroh.
Banten ring arepan Sang Dewa Pitara, adalah banten rayunan putih kuning. Kemudian di merajan khususnya di Kamulan Rong Tiga, adalah banten daksina, saha suci asoroh, banten pejati asoroh, dan hyunan putih kuning asoroh. Ada pula banten ayaban atau pamereman. Diantaranya, daksina saha suci asoroh. Banten pejati asoroh, banten ayaban tumpeng solas asoroh.
Kemudian banten sasayut guru, banten sasayut pemahayu sot. Banten panglebar asoroh dan banten arepan sang pamuput. “Adapun tatanan (dudonan) acaranya adalah, setelah datang dari ngulapin/ngedetin (nyegara gunung), Dewa Pitara atau Ida Bhatara-bhatari lalu dituntun ke merajan,” sebut beliau.
Baca juga: Pura Bukit Sinunggal Dikenal Besakih-nya Buleleng
Sebelum ditempatkan di rong tiga, acara tirta pangresikan dijalankan lebih dahulu. Dengan disiapkan oleh jero mangku, seperti banten byokawon, durmenggala, prayascita, pangulapan, dan lis amu-amu. Setelah itu, ngayaban caru petapakan dan gelar sanga. Dewa Pitara kalinggihang di rong tiga, tetapi sebelum ditempatkan di rong tiga, Dewa Pitara atau Ida Bhatara-bhatari agar dapat napak atau menginjak caru.
“Daksina sane lanang (laki-laki), ditempatkan di Rong Tiga yang berada di luwanan (kaja) dari palinggih rong yang di luwanan,” jelas beliau. Sementara daksina sang istri, ditempatkan di tebenan atau kelod di rong tiga (tebenan) dari palinggih. Kemudian tempatkan di hadapan Dewa Pitara atau Ida Bhatara-bhatari, dengan rayunan putih kuning, pejati, suci lan sane tiosan.
“Sesudah Dewa Pitara malinggih dan siap dengan rayunan seperti disebut di atas, maka jero mangku ngayabang banten tumpeng pitu. Yang diikuti atau dibantu oleh Sang Yajamana,” lanjut beliau. Setelah itu muspa atau sembahyang. Kemudian dilanjutkan dengan menghaturkan pedatengan dan sesayut panglebar. Acara nilapati dengan cara mrelina daksina.
“Ada catatan, daksina bisa dipralina langsung pada malam atau hari itu juga. Atau daksina bisa dipralina tiga hari kemudian,” sebut beliau. Mralina daksina ini, lanjut beliau, dengan cara membakar dan daksina atau kelapanya dipecahkan. Setelah itu abu hasil pembakaran dan daksina yang telah dipecah, ditanam di belakang linggih rong tiga (Pretiwi) dan dijadikan satu.
Setelah mendem atau menanam maka dilanjutkan dengan menghaturkan segehan putih kuning. Dari rangkaian upacara tersebut, terlihat bahwa umat Hindu di Bali sangat berusaha dan ingin mempersatukan atman dengan Brahman melalui upacara yadnya khususnya upacara ngelinggihang.
Tentunya ini sesuai dengan sastra di lontar suci Hindu. Sehingga atman atau roh orang yang telah meninggal, bisa dikatakan menyatu dengan Sang Pencipta. Atau dalam istilah Hindu di Bali, dikenal dengan sebutan Amor Ing Acintya.*Tribun-Bali.com
Berdiskusi tentang ini post